Antara Pilkada dan Pilpres; Ketika diri ini ikut peduli

Belum habis riuh rendah gemuruhnya Pilkada DKI Jakarta di Indonesia, sekarang perhatian saya dialihkan pada terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika. Sebagai orang Indonesia, seorang ibu, muslimah, besar di Jakarta, dan sekarang tinggal di Amerika, dua kejadian ini cukup menyita pikiran dan perasaan saya. Keduanya cukup membuat saya miris, khawatir, dan terus terang, takut.

Saya memang takut kalau demo yang disebut sebagai aksi damai bela Islam 4 November lalu itu akan ricuh dan menimbulkan mudhorot lain. Membayangkan hal-hal buruk terjadi seperti di tahun 1998 mungkin berlebihan, akan tetapi itu tidak mustahil. Alhamdulillah ketakutan beralasan saya itu tidak terjadi karena secara umum aksi tersebut damai. Tapi kenyataannya curahan pandangan tentang aksi ini masih belum berhenti, baik langsung maupun lewat media sosial. Tentu, tidak ada yang boleh melarang seseorang mengungkapkan pendapatnya. Tetapi dalam pelaksanaannya, orang sering lupa kalau ia tidak bisa memaksakan pendapatnya pada orang lain, tidak boleh mengolok-olok yang berbeda, dan harus tetap bersikap adil dalam suasana apapun. Continue reading

15 Budaya Amerika di mata saya

Saya seorang ibu rumah tangga, orang Indonesia asli, beragama Islam dan kebetulan tinggal di California sejak awal tahun 2012. Sebetulnya saya dan suami sudah tinggal di Amerika sejak tahun 2002. Tapi sebelum awal tahun 2012 itu, pergaulan saya tidak sesemarak sekarang. Dulu kaki saya seringnya melangkah pergi dan pulang ke tiga tempat saja; asrama mahasiswa, kampus, dan tempat kerja yang kebetulan ada di dalam kampus. Lingkungan pergaulan saya kebanyakan dengan mahasiswa dari Indonesia dan dari berbagai negara yang ada di asrama dan di kampus, teman kerja di kantor, dan sesekali dengan warga Indonesia yang ada di Honolulu, Hawaii.

Sekarang berbeda, lingkungan pergaulan saya, boleh saya bilang meluas. Saya lebih sering bertemu dan bergaul dengan para ibu rumah tangga yang warga negara Amerika. Kami tergabung dalam grup ibu dan anak di kota Riverside yang beranggotakan hampir 60 orang. Sekitar 4 sampai 5 kali seminggu saya dan putri saya, bertemu dengan mereka. Kami ngobrol ngalor-ngidul sambil mengawasi anak-anak kami bermain, membuat prakarya, atau menikmati suasana ditempat yang kami kunjungi. Kami bertemu di taman kota yang jumlahnya cukup banyak dan terawat. Kadang di perpustakaan, di beberapa rumah bergantian, dan di tempat-tempat wisata pendidikan yang murah dan meriah. Alhamdulillah, saya bersyukur dengan keadaan sekarang. Ternyata dengan memiliki buah hati, saya juga memiliki teman baru, bertambah pengalaman, bahkan ilmu baru yang tidak saya ketahui atau bayangkan sebelumnya. Continue reading

Langkahmu bukan untukmu sendiri (Rangkuman sebuah Novel “The husband’s secret” karya Liane Moriarty)

“Ah betul juga ya, kenapa tidak saya coba merangkum dan mengkritik Novel-novel yang sudah saya baca di klub buku saya. Apalagi sudah ada dua orang sahabat yang katanya siap membacanya, wink-wink”,  kata saya dalam hati. Kemudian wajah sumringah dua orang sahabat lama yang saya rindukan, Lies dan Yuli  muncul di benak saya. Keduanya muncul di dalam gambar awan yang menempal di kepala saya; tampil seksi dalam bentuk karikatur, tertawa lebar, memakai kaca mata gaya, berambut tinggi, dengan bibir merah merona dan deretan gigi yang rapih. Continue reading

Kok Bisa Tanpa Asisten Rumah Tangga (ART) di Amerika?!

Terinspirasi dari diskusi sebagian para ibu rumah tangga di kota Riverside di ruang maya minggu lalu tentang gambaran ideal suasana pagi hari di dalam rumah, saya jadi tergelitik menuliskan sebagian besar komentar para ibu tersebut, dan kemudian menguraikannya lebih lebar.

Sebagian mengatakan bahwa pagi yang indah itu diawali oleh waktu bangun tidur yang sama antara anak-anak dan bapaknya. Sebagian setuju bahwa pagi yang indah itu dimulai ketika anak-anak mereka bangun pagi dalam keadaan riang gembira lalu melakukan ritual pagi dengan baik. Sebagian lagi sepakat kalau pagi itu baru bisa disebut indah bila menu sarapan nya sehat dan lezat. Dan sebagian besarnya, ini yang paling menarik, mengakui bahwa pagi yang indah dan sempurna itu adalah ketika mereka tidak harus beres-beres rumah, menyiapkan sarapan dan makan siang, melainkan ada asisten rumah tangga yang melakukannya. Uniknya, mereka semua sepakat kalau hal itu hanyalah sebuah mimpi kosong. Malah ada yang menyebutnya sebagai angan-angan yang paling mustahil dan liar yang pernah terbersit di pikiran mereka.

Continue reading

Catatan di awal tahun 2014

Segala puji bagi pemilik semesta, hari di awal tahun 2014 ini aku merasa sehat dan segar. Diawali dengan kecupan dan pelukan hangat dari anakku tersayang dan gelak tawanya yang berderai, aku tersenyum dan siap menjalani hari ini dan hari-hari kedepan. Aku juga makin semangat ketika suamiku mengatakan bahwa tahun 2013 adalah tahun yang hebat buat aku. Ia membanjiriku dengan kata-kata yang tidak terbersit di otakku. Aku sampai tersanjung hingga tersadarkan kembali akan nikmat tiada tara yang sudah aku dapatkan di tahun 2013 kemaren, dan bahkan di tahun-tahun sebelumnya.

Walaupun tahun lalu tidak selalu berhiaskan warna pelangi, warna gelapnya tidak bertahan lama. Berita duka yang dialami oleh dua orang saudara perempuanku, yang sempat menorehkan luka yang cukup dalam di hati ini, perlahan bisa terobati oleh waktu, walaupun aku akui itu semua tidak akan terlupakan. Mengajarkan dan mengingatkanku lagi bahwa hidup ini tidak sepenuhnya manusia yang mengatur. Bahwa sepahit apapun satu fase dalam  roda kehidupan, hidup tetap harus berjalan dan berputar. Bahwa justru karena hadirnya duka, manusia bisa lebih pandai merasai dan memaknai suka cita. Bahwa ketika sedih dan luka hati begitu menganga dan perih, manusia tidak boleh putus asa karena pasti kasih sayang dan cinta Nya jauh lebih besar dan tidak akan pernah bisa dibendung. Continue reading

Mereka dan Saya tentang Natal di Amerika

Ah Natal sebentar lagi. Semarak  kota Riverside terasa sekali menyambutnya. Rumah-rumah terang benderang dihiasi banyak lampu warna warni.  Pusat kota juga dihiasi cantik oleh lautan lampu. Lengkap dengan fasilitas ice skatingnya, penyewaan kereta kencananya, musik live-nya, serta kedai-kedai kecil yang menjajakan makanan ringan. Tempat-tempat umum seperti mal, kantor, sekolah, rumah sakit, dan tempat  hiburan, kesemuanya ikut serta menyemarakkan Natal lewat berbagai hiasan dan acara khusus.  Dan tanpa terkecuali, klub ibu dan anak balita di kota ini, tempat dimana hampir setiap hari aku dan anak perempuanku yang berusia dua setengah tahun bertemu dan bermain, juga ikut memeriahkan datangnya Natal.

Ya diklub itulah, saya menjadi kenal banyak ibu-ibu di Riverside, California ini. Perkenalan yang awalnya dimulai dari mencari info di google, kemudian bertemu di darat dan saling sapa, lalu sama-sama mengawasi anak-anak kami bermain, lama kelamaan menjadi asyik karena kami sering ngobrol ngalor-ngidul. Mulai berbagi cerita tentang pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga, sampai ke soal yang cukup privat; kepercayaan dan tradisi keluarga. Topik yang awalnya sensitif dan hati-hati untuk diungkapkan itu, perlahan justru menjadi sangat menarik untuk didengarkan dan diceritakan. Apalagi menjelang natal ini, kami jadi bisa saling berbagi dan belajar. Berikut penggalan obrolan saya dengan mereka.

Continue reading

Kegembiraan dalam Halloween

Semalam, tanggal 31 Oktober 2013, setelah rencana makan diluar batal, aku, suamiku, dan anakku yang masih berusia dua setengah tahun menikmati waktu berleha-leha dan bercengkrama di ruang tengah. Dengan perut yang masih terasa kenyang setelah akhirnya aku memutuskan masak cepat dan kami makan di rumah, serta kaki yang masih terasa sedikit lelah setelah berjalan mengelilingi rumah tetangga, tiba-tiba pertanyaan muncul dikepalaku, “sebenarnya arti dan latar belakang Halloween itu apa sih?”… Continue reading

Mimpinya para ibu…

“Semalam aku mimpi yah!”, laporku pagi-pagi seraya meletakkan sepiring roti “French toast” di atas meja. “Seru banget!”, kataku lagi sambil menyomot roti dan melahapnya cepat. “Nyam-nyam, eh..enak”, gumamku memuji roti buatanku sendiri. “Mimpi apa?”, jawab suamiku sekenanya tanpa menoleh, sementara jari jemarinya masih sibuk menari di atas iphone. Continue reading

Merayakan Ulang Tahun versi Amerika?!

“Neneng, ini undangan ulang tahun Ryan untuk Inas”, kata April sambil menyodorkan amplop putih bertuliskan nama Inas. “Saya sebenarnya enggak ada rencana ngundang kamu dan Inas, tapi karena Ryan yang minta, dan terus ngingetin aku, akhirnya kamu aku undang dech, sorry ya kalo ngerepotin”, katanya blak-blakkan. “Saya pikir Ryan itu bukan pantarannya Inas, dia umurnya empat tahun, Inas kan baru dua tahun, dia lebih pantes di undang ke ulang tahunnya Leah adiknya Ryan”, katanya lagi santai. “Oh well, it’s up to you tho’. If you don’t plan to invite us, you don’t have to”, jawabku canggung. Alis mataku naik, pundakku refleks terangkat, dan senyumku setengah terkulum . “No, no, no, we both will be happy if you could come”, kata April akhirnya mencoba mencairkan suasana.

Alkisah akhirnya minggu lalu saya dan Inas datang memenuhi undangan April. Mengunjungi rumahnya untuk yang kedua kalinya setelah sebelumnya datang untuk bermain (play date). Rumah berlantai dua yang di bangun sekitar tahun 2000-an itu sederhana dan apik, berada di daerah Mt. Rubidoux yang terkenal cantik karena tanahnya yang berlembah. Buat saya yang pendatang, bisa mengunjungi rumah orang lokal itu menyenangkan. Saya suka memperhatikan desain rumahnya, pajangan yang ada didindingnya, bahkan barang2 atau makanan yang ada di meja dapurnya (“ha ha, sebetulnya jadi serem ya, saya seperti seorang mata-mata?!”).

Tapi memang begitulah kenyatannya. Buat saya, tinggal di tempat yang baru itu bisa menyegarkan pandangan dan  pendengaran. Selain suka memperhatikan lebih dalam lagi apa yang saya lihat, menyelami apa yang saya  alami, saya juga jadi sering mengingat-ingat dan memikirkan kembali apa yang saya bicarakan dengan orang lain. Acara kumpul-kumpul, seperti perayaan tahun baru, hari kemerdekaan, atau yang setahun belakangan ini sering saya datangi, yaitu perayaan ulang tahun temen-temannya Inas, menjadi “moment” menarik buat saya. Nah di dalam tulisan kali ini, saya ingin menceritakan pengamatan saya khususnya tentang  tradisi perayaan hari ulang tahun di Amerika. Continue reading

Pulang!

Pagi itu adalah pagi yang lain dari biasanya. Setelah menerima telepon singkat dari pamannya, Lela terduduk lemas dan kaku di kursi dekat meja telepon. Air matanya tiba-tiba jatuh tak tertahankan, mengucur deras membasahi baju daster batiknya. “Kenapa La, ada berita apa?”, tanya Munir tergopoh-gopoh keluar dari dalam kamar sambil membetulkan letak sarungnya yang hampir melorot. “Ibu mas, ibu”, jawab Lela sambil berlinang air mata. Kali ini tangisannya mengeras. Mulutnya mangap dengan bibir “menjebeng”, Lela menangis sejadi-jadinya, kali ini membasahi kaos oblong Munir, tepat di bagian perutnya.

Sambil terus memeluk istrinya, Munir juga tidak kuasa menahan tangis. Air matanya ikut mengalir, dan tangannya membelai-belai kepala istrinya. Ia tidak tahu harus berkata apa sampai Lela berdiri dan berjalan ke kamar karena suara tangisan Galih, anak lelakinya yang masih berusia satu setengah tahun. Munir mengikuti langkah Lela dari belakang, kemudian ia ikut duduk di samping Lela yang masih menangis sesenggukan. Tangan lela sibuk membuka kancing depan baju daster nya, susah sekali sampai Galih kelihatan tidak sabar dan melanjutkan tangisnya. Munir akhirnya membantu Lela membuka kancing bajunya dan membiarkan Lela menyusui buah hati mereka dahulu. Suara tangisan Galih memelan, dan kemudian hilang hingga hanya suara mulutnya saja yang terdengar sibuk menyedot susu.

“Sabar ya La”, kata Munir diikuti tangannya yang melingkar ke pundak Lela. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi karena semalam mereka memang habis bertengkar kecil soal rencana kepulangan Lela ke Solo yang tidak jadi-jadi karena Munir tidak punya waktu untuk mengantar. Munir merasa sangat bersalah. Bayangan wajah ibu mertuanya hadir di benaknya. Senyumnya dan suaranya yang khas, serta bahasa santunnya yang menyejukkan hati membuat Munir tambah menyesal tidak bisa menemani hari-hari terakhirnya ketika beliau sakit. “Ma’afin aku ya La?..”, kata Munir akhirnya pada Lela. Di peluk lagi Lela erat, jari jemarinya menggenggam pundak Lela lebih kuat. Lela hanya terdiam membisu, suara sesenggukan tangisannya masih ada dan tersisa.

Continue reading